Studi Islam Intensif sebulan ini membahas tema sidiq. Sidiq adalah jujur dan dapat dipercaya, merupakan salah satu sifat mulia yang ditekankan dalam Islam. Nabi saw terkenal sejak remaja sebagai Al Amin yang berarti orang yang jujur. Sifat ini lekat ke diri Nabi saw sampai beliau meninggal. Maka sifat sidiq merupakan sunnah yang bahkan telah diterapkan beliau saw sejak sebelum diangkat menjadi nabi. Alangkah baiknya bila kita dapat menerapkan sifat sidiq dalam diri kita.
Ibrahim Al Adham masyhur sebagai seorang raja yang sholeh dan sidiq. Suatu hari, dia ingin turun tahta dan menjalani hidup sebagai rakyat biasa. Dia menyerahkan tampuk pemerintahan dan mulai mengembara, berjalan dari satu tempat ke tempat lain sampai akhirnya dia menemukan sebuah kebun. Dia meminta pada pemiliknya untuk dapat bekerja di situ. Pemilik kebun tidak mengenal siapa yang di hadapannya, menerimanya bekerja dengan gaji rendah. Maka mulailah Ibrahim Al Adham bekerja dengan tekun di kebun itu. Waktu-waktu senggangnya diisi dengan beribadah khusyuk.
Setelah kurang lebih 2 tahun bekerja, suatu hari pemiliknya memanggil Ibrahim Al Adham dan berkata: “Ambilkan aku delima yang manis”. Ibrahim pun segera melaksanakan permintaan sang majikan. Dipetiknya delima yang merah dan ranum. Apa lacur, ternyata delima yang dipetiknya terasa masam. Sang majikan merasa kesal dan memerintahkannya untuk memetik lagi. Kali ini pun delima itu masam. Majikannya dengan marah berkata: “Bukanlah aku menyuruhmu memetik delima yang manis?” Jawab Ibrahim al Adham: “Bagaimana aku bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?” Majikannya mendelik: “Apa kau kira kau sejujur Ibrahim Al Adham? Kau mau mengatakan bahwa sekian lama bekerja di sini kau tidak pernah merasakan satu pun buah delima?”
Ibrahim al Adham merasa tersinggung karena tidak dipercaya. Maka saat itu juga dia berhenti dari pekerjaannya. Majikannya kemudian tahu bahwa pekerjanya itu adalah benar-benar Ibrahim Al Adham adanya dan segera dia menemuinya untuk meminta maaf. Tapi Ibrahim Al Adham sudah memutuskan untuk meneruskan pengembaraannya.
Mendengar cerita kaum sabiqun awalun (kaum pendahulu) seperti di atas, kita merasa rendah. Betapa mulia akhlak mereka, serasa tak tergapai oleh kita-kita. Seorang raja, penguasa besar, kaya raya, rela meninggalkan segalanya untuk dapat beribadah tekun. Mau bekerja keras dengan gaji sangat kecil, tidak sebanding dengan kekayaannya dahulu. Walau demikian selama dua tahun tidak pernah memakan satu pun buah delima yang dijaganya. Itulah sidiq. Beliau melakukannya hanya untuk mengharap ridha dan ampunan Allah swt semata.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, yang mukmin, yang tetap dalam ketaatannya, yang sidiq, yang sabar, yang khusyu, yang bersedekah, yang berpuasa, yang menjaga kehormatannya, yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS Al Ahzab 33:35)
Sidiq Sifat Nabi
Salah satu sifat para Nabi adalah sidiq. Yaitu berkata benar dan dapat dipercaya dalam setiap perkataan dan tindakan.
Nabi Muhammad saw diberi gelar Al Amin (orang yang jujur) sejak beliau masih remaja. Dan ketika seseorang digelari orang jujur, apakah dia pernah berbohong seumur hidupnya? Tidak pernah! Karena sekali ia pernah berbohong, masyarakat akan mencabut gelar itu dari dirinya. Seperti kata pepatah sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak akan percaya. Tindakan anda berbohong sekali saja, akan diingat orang selamanya. Mau peribahasa lain? Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Karena satu perbuatan bohong yang kita lakukan, segala tindakan jujur kita menjadi rusak binasa dan tidak lagi kita berhak menyandang gelar orang yang jujur. Maka bila seseorang bergelar Al Amin, dapat dipastikan bahwa orang tersebut selalu jujur sepanjang hidupnya, tidak pernah melakukan kebohongan biarpun hanya sekali.
Abu Sofyan yang kala itu belum muslim pernah ditanya oleh Heraklius tentang apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Abu Sofyan menjawab: “Dia (Muhammad saw) memerintahkan untuk menyembah Allah semata, meninggalkan perkataan bapak-bapak kami (mengenai penyembahan berhala), memerintahkan mengerjakan sholat, berkata jujur, rendah hati, dan memperbaiki hubungan silaturahmi”.
Seorang musuh bisa mengatakan demikian adalah karena mendalamnya kesan pada pribadi Nabi saw yang mulia. Dan kesan demikian tidaklah timbul kecuali bila Nabi saw melakukan segala apa yang diperintahkannya sendiri.
Rantai Dosa
Dari Abdullah bin Mas’ud ra: Rasulullah saw bersabda: Sidiq membawa ke kebajikan, dan kebajikan membawa ke surga. Seseorang akan terus menerus berkata dan berbuat sidiq sehingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang sidiq. Dan dusta membawa ke dosa, sedang dosa membawa ke neraka. Seseorang terus menerus melakukan dusta sehingga tercatat di sisi Allah sebagai pendusta. (HR Bukhari dan Muslim)
Karenanya seorang muslim tidaklah akan berbohong sebab itu akan menimbulkan rantai dosa yang panjang, yaitu satu kebohongan harus ditutup dengan kebohongan lain. Sekali berbohong, seseorang akan bebohong lagi untuk menutupi kebohongannya. Contoh pembicaraan dua orang yang tinggal sekamar.
A: Eh, kamu sudah sholat?
B: Sudah (berbohong)
A: Di mana tadi sholatnya? Kok saya tidak lihat.
B: Di masjid (bohong ke 2)
A: Di masjid tadi ketemu si fulan tidak?
B: Tidak, saya datang telat. Mungkin dia sudah pulang (bohong ke 3)
Demikian seterusnya, makin ditanya, makin banyak diproduksi kebohongan.
Salah satu hadits menerangkan ciri-ciri orang munafik, yaitu bila berkata dia dusta, bila berjanji tidak menepati, bila diberi amanah dia berkhianat. Lihatlah, betapa sidiq tidak akan didapati di dalam diri seorang munafik.
Sidiq Pada Orang Beriman
Lebih jauh, hanya pada seorang mukmin sifat sidiq dapat melekat. Tercabutnya sifat sidiq berarti tercabutnya iman dari hati seseorang.
Abu Darda pernah bertanya pada Rasul saw: “Ya Rasulullah, mungkinkah seorang mukmin mencuri?” Kata Nabi saw: “Ya, kadang-kadang”. Ia bertanya lagi: “Mungkinkah mereka berzina?” Kata Nabi saw: “Mungkin”. Ia bertanya lagi: “Mungkinkah dia berdusta?” Nabi saw menjawab dengan ayat Al Quran: “Yang membuat kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka itulah pendusta.” (QS Al Nahl 16:105).
Nabi saw dengan ayat itu menyatakan bahwa seorang mukmin tidak akan mungkin berdusta, meski dia mungkin mencuri atau berzina.
Kita pun perlu menjaga keturunan dari sifat dusta, supaya kita tidak meninggalkan keturunan yang lemah. Al Quran dan sunnah mengajarkan kita untuk selalu berkata benar, dan anak-anak supaya dilatih berkata jujur. Kejujuran membawa kekuatan dan keberanian sedang dusta mengakibatkan kelemahan dan ketakutan.
Ada sebuah cerita menarik mengenai pengajaran sifat jujur pada anak. Cerita ini dituturkan oleh seorang yang terkenal jujur di lingkungannya. Ketika ditanya bagaimana dia bisa berkata benar meskipun dengan resiko apapun, dia bercerita pengalaman masa lalunya sebagai berikut.
Saya masih kelas tiga SMA kala itu. Ayah menyuruh saya mengambil mobil di bengkel, kemudian segera membawa mobil tersebut ke kantor ayah. Saat itu masih siang, setelah mengambil mobil, seperti layaknya anak-anak muda, saya pergi dahulu jalan-jalan memakai mobil. Ketika sadar, hari sudah sore. Mobil segera saya kebut ke kantor ayah. Ternyata ayah sudah lama menunggu. Saya ditanya: “Ke mana saja kamu?” Karena takut dimarahi, saya menjawab: “Bengkelnya masih mengerjakan ini itu. Jadi saya lama menunggu di sana.” Di luar dugaan saya, ayah sangat kecewa dengan jawaban itu. Ternyata dia sudah menelepon ke bengkel dan mendapat jawaban bahwa mobil sudah diambil sejak siang tadi. Ayah menatapku dengan kelopak sayu dan berkata sedih: “Ayah telah berbuat kesalahan besar. Ayah tidak bisa mendidik kamu untuk berkata jujur. Ternyata engkau lebih takut hukuman dari pada keterusterangan. Untuk ini ayah akan menghukum diri sendiri dengan berjalan kaki ke rumah. Sepanjang jalan ayah akan merenungkan kesalahan ayah.”
Kemudian tanpa berkata apa pun ayah membalikkan badan dan berjalan pulang sambil menunduk. Bayangkan, lima belas kilometer berjalan kaki! Sedang aku sendiri? Tentu tidak berani mengendarai mobil melewatinya. Maka jadilah aku mengendarai mobil pelan-pelan di belakangnya sambil berkali-kali minta maaf sepanjang jalan pulang. Itu selama tiga jam penuh.
Pengalaman ini sangat berkesan di hatinya. Maka jadilah seorang yang benar-benar menjaga lidahnya dari berkata dusta. Anda ingin punya anak jujur seperti dia?